Sabtu, 30 April 2011

MEMURNIKAN PENGERTIAN TENTANG INTELIJEN (02)

Makna filosofis yang dapat ambil dari definisi intelijen secara proporsional dan tepat adalah adanya cara pandang dan cara berfikir yang berwujud dalam sebuah tindakan yang erlandaskan pada nalar intelijen yaitu antisipatif dan prediktif dan pola laku intelijen yaitu cepat dan tepat (velox et exactus). Disaat kita mampu memprediksi suatu keadaan yang akan terjadi dimasa datang dengan berbagai data, fakta dan informasi yang kita peroleh, maka kita harus melakukan antisipasi. 

Perkiraan terhadap kondisi dimasa datang akan sangat tergantung sejauhmana kita mampu memahami dan mengetahui pada masa lalu dan masa kini. Sedang pola laku yang cepat dan tepat, harus melekat dalam diri insan intelijen karena ia sangat berhubungan dengan masalah informasi. 

Disinilah saya kira pentingnya membumikan intelligence minded dalam masyarakat kita yang bertumpu pada peringatan dini, penyelematan dan memenangkan persaingan.

Mengapa intelligence minded perlu dibumikan dalam masyarakat kita. Pertama; karena bicara intelijen tidak hanya urusan mata-mata saja (spy), tetapi lebih dari sekedar itu. Yakni, keberadaan intelijen karena dibutuhkan untuk mensupport pengambil kebijakan yang berdampak pada kepentingan publik. 

Kedua; seiring perkembangan zaman, para pengguna jasa intelijen tidak hanya sebatas negara saja (state intelligence), tetapi berbagai perusahaan swasta dan organisasi lainnya. 

Ketiga; intelijen merupakan sebuah ilmu pengetahuan. Memasuki abad 21 ini, intelijen dimasukkan dalam disiplin ilmu tersendiri, setelah sebelumnya hanya dilihat sebagai proses dan kegiatan didalam dunia yang gelap, tertutup dan serba rahasia. 

Sebagai ilmu pengetahuan, intelijen secara spesifik meneliti pada empat variabel pokok yaitu; organisasi intelijen, tingkah laku agen atau aktor intelijen, kegiatan intelijen dan produk intelijen. Namun belakangan, sesuatu yang terkait dengan ancaman dan penyelematan sebuah perusahaan atau koorporasi dan organisasi swasta lainnya dapat dimasukkan dalam penelitian intelijen. 

Keempat; kondisi bangsa dan masyarakat kita yang akhir-akhir ini mudah untuk diadu domba, lemah secara ekonomi dan politik, susah berasatu, saling menyalahkan, miskin nasionalisme, mudah mengadopsi ide-ide dari luar, kehilangan jati diri dan masih banyak lagi yang berhubungan dengan mental dan karakter masyarakat kita, terutama elit penguasa pengambil kebijakan yang tidak juga membuat tanda-tanda bangsa kita akan menjadi bangsa kuat, maju, memenangkan persaingan, melindungi segenap tumpah darahnya. 

 Sukses Dalam Usaha Perlu Intelijen

Disinilah pentingnya membumikan intelijen minded dalam masyarakat kita, terutama pada level akar rumput. Sebab siapa tahu, saat ini para elit penguasa kita, kelompok menengah kita, intelektual kita, pengusaha kita dan bahkan aparat kita sendiri telah menjadi agen dari kepentingan bangsa dan negara lain. 

Kenapa Malaysia, Singapura, Australia, dan tentu AS berani semena-mena dan meremehkan
kita, dan mengapa pula bangsa kita selalu rebut di dalam ibarat katak dalam tempurung?

Jumat, 29 April 2011

RIHLA : KISAH PERJALANAN PARA PELANCONG MUSLIM

Oleh 
Habib Alwi Alatas

Banyak orang yang menyukai perjalanan ke berbagai tempat, tapi tidak semua orang menuangkannya dalam suatu tulisan yang bisa memberi manfaat pada orang lain. Kebanyakan orang hanya berjalan-jalan untuk mengisi waktu libur dan bersenang-senang semata, bukan untuk memperhatikan dan mengamati bumi Allah yang luas dan membagi hasil pengamatannya kepada sesama manusia. Pada masa sekarang ini, walaupun teknologi informasi sudah begitu canggih, kisah perjalanan seseorang ke suatu tempat boleh jadi masih memberikan banyak keterangan yang menarik bagi para pembacanya. Ini menjadi lebih berkesan lagi pada masa-masa yang lalu, ketika pergi melancong masih sulit untuk dilakukan dan penyebaran informasi masih sangat terbatas. Tulisan ini akan mengangkat kisah-kisah perjalanan para pelancong Muslim pada masa lalu serta sumbangan mereka terhadap pengetahuan.

Ian Richard Netton dalam pendahuluan bukunya, Islamic and Middle Eastern Geographers and Travellers, menyebutkan bahwa setidaknya ada empat faktor utama yang mendorong dilakukannya perjalanan oleh kaum Muslimin. Pertama, rasa haus dan cinta terhadap pengetahuan, sebagaimana yang dianjurkan oleh al-Qur’an dan al-Hadith. Kedua, dorongan untuk menunaikan ibadah Haji, meskipun jalan yang dilalui sangat jauh dan berbahaya. Ketiga, faktor komunikasi dan perdagangan, yaitu dorongan untuk menjalin komunikasi dan perdagangan di antara berbagai wilayah yang ada. Keempat, dan ini pada tingkat pemerintahan, dorongan untuk meluaskan pengaruh dan kekuasaan.[1]
Maqbul Ahmad menambahkan beberapa alasan lainnya: upaya penyebaran dakwah, pengiriman utusan atau duta, pengiriman ekspedisi, dan juga profesi sebagai pelaut.[2]

Untuk halnya pengiriman duta, kita dapati contohnya antara lain pada kisah perjalanan Ahmad ibn Fadhlan yang dirikim oleh Khalifah al-Muqtadir ke kerajaan Bulgars di daerah Volga (kini berada di wilayah Rusia) pada tahun 921 M[3] sebagai respon atas permintaan bantuan mereka, dan juga untuk mendakwahkan Islam. Ibn Fadhlan memberikan laporan yang sangat menarik tentang keadaan wilayah yang berada di Utara kekhalifahan Islam itu berikut ciri-ciri masyarakatnya.

Ia memberikan deskripsi tentang orang-orang yang ia sebut sebagai bangsa Rusiyyah, yang hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan para akademisi apakah yang ia maksudkan adalah bangsa Rusia/ Slavia, bangsa Viking, atau bangsa lainnya. Tentang orang-orang Rusiyyah ini ia mengatakan bahwa ia belum pernah melihat keadaan fisik yang lebih sempurna dari mereka. Mereka digambarkan seperti pohon-pohon palem, bertubuh sedang dan kemerah-merahan. Tapi Ibn Fadhlan juga menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang paling jorok. Mereka tidak membersihkan diri sehabis buang air, tidak mandi setelah melakukan hubungan seksual (mereka juga tidak malu melakukan hubungan seksual di depan orang lain), bahkan mereka tidak mencuci tangan setelah makan.[4]

Penjelasan Ibn Fadhlan bukan hanya menarik bagi orang-orang yang membacanya pada masa itu, tetapi juga para peneliti dan pembaca yang hidup di zaman sekarang ini. Bahkan Michael Crichton, seorang novelis Barat modern terinspirasi oleh kisah Ibn Fadhlan ini dalam menuliskan novelnya, Eaters of the Dead, yang kemudian difilmkan menjadi The 13th Warrior, dengan menjadikan Ibn Fadhlan sebagai tokoh utama ceritanya.

Contoh ekspedisi lainnya adalah misi Sallam yang diminta oleh Khalifah al-Wathiq untuk mengeksplorasi wilayah di Timur Turkistan pada tahun 843 M. Tujuan ekspedisi ini adalah untuk menyelidiki keberadaan tembok Ya’juj dan Ma’juj, yang kelihatannya pada masa itu diasosiasikan oleh orang-orang Arab dan kaum Muslimin dengan Tembok Cina. Perjalanannya menghabiskan lebih dari 28 bulan dan menyebabkan kematian serta kehilangan banyak anggota ekspedisi. Sallam melaporkan bahwa mereka berhasil mencapai tembok tersebut, menjelaskan ukuran tembok tersebut, dan mengambil beberapa spesimen logam yang digunakan untuk membangun tembok itu. Apakah Sallam dan rombongannya benar-benar mencapai tembok Ya’juj dan Ma’juj, atau hanya mencapai sesuatu yang dianggap oleh mereka sebagai tembok Ya’juj dan Ma’juj? Kita tidak mengetahuinya secara pasti.

Tulisan Sallam sendiri, yang menceritakan kisah perjalanan tersebut, sekarang sudah tidak ada lagi. Kita hanya mengetahui sebagian isi bukunya itu dari beberapa ahli Geografi Muslim yang mengutipnya, seperti Ibn Khurdadhbih dan al-Muqaddasi. Kendati demikian, Ibrahim Showket dalam penelitiannya menjelaskan bahwa ”pelayaran Sallam penting karena itu merupakan pengalaman Arab yang pertama atas suatu wilayah dalam rangka pencarian pengetahuan geografis. Sallam melewati Armenia dan Georgia dalam perjalanannya ke Tembok Cina, dan melintasi Kaukasus, berhenti pada Khuzar di wilayah Volga. Ia kemudian mengeksplorasi banyak bagian dari Pegunungan Ural dan Altais. Dengan melakukan itu, Sallam menambahkan bagi pengetahuan Arab tentang wilayah-wilayah di luar Kekhalifahan Arab.”[5]

Orang-orang yang melakukan perjalanan dalam rangka mencari pengetahuan juga sangat banyak jumlahnya dan tak mungkin diceritakan seluruhnya di sini. Kita mengetahui para ulama dan para ahli hadith yang pergi ke berbagai negeri hanya untuk belajar pada ulama lainnya atau untuk mendapatkan sebuah riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Banyak ahli geografi dan ahli Sejarah Muslim juga melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengumpulkan data dan informasi secara langsung. Sebagian ilmuwan ini bahkan melakukan perjalanan yang sangat panjang demi mendapatkan pengetahuan yang diperlukannya, walaupun mungkin mereka tidak menceritakan secara detail kisah perjalanannya.

Al-Muqaddasi misalnya, ia merupakan salah satu ahli Geografi Muslim yang paling penting, dan karyanya, Ahsan al-Taqasim fi Ma’rifat al-Aqalim, dinilai sebagai salah satu karya akademik terbaik di bidangnya. Ia lahir di Baitul Maqdis (Jerusalem) pada tahun 945 M dan meninggal dunia sekitar tahun 1000 M.[6] Sebelum menyusun karyanya tersebut, al-Muqaddasi melakukan perjalanan ke berbagai wilayah Islam yang keseluruhannya menghabiskan waktu 20 tahun. Sebagaimana kebanyakan ilmuwan Muslim yang melakukan perjalanan jauh, al-Muqaddasi mengawali misinya dengan mengunjungi al-Haramain dan menunaikan ibadah haji di sana.[7] Melakukan perjalanan selama 20 tahun tentunya tidak bisa disebut sebagai perjalanan yang biasa, melainkan sebuah petualangan. Ia sendiri menyatakan bahwa ”tidak satu pun hal yang menimpa para pelancong yang saya tidak mengalaminya, kecuali meminta-minta dan melakukan dosa besar.”

Selama perjalanannya itu ia menekuni berbagai bidang pekerjaan. Ia menjadi tentara dan tukang jilid buku; ia menjadi penasihat para pangeran, tapi pada kesempatan yang lain hidup telanjang dan miskin, mengandalkan kebaikan orang lain.[8] Sayangnya, ia tidak menuliskan kisah-kisah perjalanannya dalam sebuah karya khusus. Ia hanya menulis kitab Geografi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Tapi dari sini kita bisa membayangkan bahwa banyak ilmuwan lain yang mungkin juga melewati proses dan perjalanan seperti yang dilewati oleh al-Muqaddasi, walaupun mereka tidak menuliskan kisah-kisah mereka itu secara khusus.

Tentunya tidak semua penulis melewatkan kesempatan untuk menuliskan kisah perjalanan mereka dalam sebuah buku. Naser-e Khosraw misalnya, dari tempat tinggalnya di Timur Laut Khurasan, ia melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah Iran, Iraq, Syria, Mesir, dan juga Makkah. Ia adalah seorang Persia, penganut Syi’ah Ismailiyyah, yang memulai perjalanannya kira-kira setengah abad sebelum terjadinya Perang Salib. Tapi terlepas dari keyakinannya itu, banyak informasi berharga yang bisa didapat dari bukunya, Safarnama. Ia memberikan deskripsi beberapa kota yang dilaluinya serta bangunan-bangunan penting yang terdapat di dalamnya, termasuk kota Jerusalem dan Makkah.

Saat berada di Palestina, ia mengunjungi makam nabi-nabi. Ia juga menyebutkan bahwa makam Abu Hurairah terletak di Selatan kota Tiberias, ”tapi tak seorang pun bisa pergi ke sana karena orang-orang disana menganut Shi’ah dan setiap kali ada yang pergi ke sana, anak-anak di situ akan membuat kegaduhan, menyerang, mengusik, dan melemparkan bebatuan.” Karena alasan itulah ia tidak bisa mengunjungi tempat tersebut. [9]

Satu abad lebih setelahnya, Abu’l Husayn Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Ibn Jubayr, melakukan perjalanan haji dari tempat asalnya di Valencia, Andalusia. Ibn Jubayr lahir pada tahun 1145 M dan melakukan perjalanannya selama dua tahun, antara tahun 1183 M dan 1185 M, hanya beberapa tahun sebelum kemenangan Salahuddin al-Ayyubi dalam Pertempuran Hattin tahun 1187 M, serta penaklukkan Jerusalem beberapa waktu setelahnya. Ia mengamati tempat-tempat yang dilaluinya, dan lebih khusus lagi kota Makkah dan Madinah, kemudian menuliskannya dalam sebuah risalah perjalanan yang kemudian dikenal sebagai kitab Rihla.[10]

Istilah rihla sendiri dalam bahasa Arab berarti mengenakan pelana pada unta atau bermakna juga suatu perjalanan. Orang yang terampil mengenakan pelana pada unta atau seorang yang banyak melakukan perjalanan jauh disebut sebagai rahhal. Kata rihla juga terdapat di dalam al-Qur’an, Surat Quraisy (surat ke 106, ayat 2), yang menggambarkan kebiasaan orang-orang Quraisy pra-Islam dalam melakukan perjalanan pada musim dingin dan musim panas untuk keperluan dagang.[11]

Sejak era Ibn Jubayr, Rihla menjadi genre dalam penulisan buku-buku perjalanan. Walaupun durasi perjalanan Ibn Jubayr relatif singkat, hanya dua tahun, karyanya dinilai oleh beberapa akademisi sebagai ”yang pertama dan salah satu karya terbaik di bidangnya.” dan ”menjadi model bagi banyak pelancong lainnya.”[12] Beberapa bagian dari bukunya bahkan diadopsi oleh Ibn Battuta dalam penulisan Rihla­-nya.

Ada beberapa karya penting yang terkait dengan kisah perjalanan, antara lain ditulis oleh al-Mazini (w.1169), Ibn Mujawir (ditulis sekitar tahun 1230), al-Nabati (w. 1239), al-’Abdari (w. 1289), al-Tayyibi (w. 1299), al-Tidjani (w. 1308), dan lainnya. Penulisan kisah-kisah perjalanan mencapai puncaknya, tentu saja, pada karya Ibn Battuta (w. 1377).[13] Ibn Battuta dapat dikatakan telah mengunjungi semua wilayah Muslim dan juga wilayah-wilayah di luar kekhalifahan Islam, seperti Srilanka, Cina, dan selatan Rusia. Ia menempuh jarak tidak kurang dari 75.000 mil, dan total waktu perjalanannya adalah sekitar 30 tahun,[14] suatu angka yang sulit ditandingi oleh siapa pun, terlebih di jaman yang masih terbatas dalam hal teknologi transportasi.

Rihla, atau karya-karya terkait perjalanan memang biasanya lebih dikategorikan sebagai karya sastra ketimbang karya geografi atau sejarah. Namun demikian, karya-karya ini mengandung informasi geografi, sejarah, dan juga antropologi, yang cukup kaya bagi para akademisi. Itulah sebabnya karya-karya ini masih menjadi kajian para peneliti hingga ke hari ini.

Di samping itu, kita juga mendapati pentingnya peranan ibadah haji dalam mendorong Kaum Muslimin untuk melakukan perjalanan. Perjalanan ini memberikan kekuatan mental bagi mereka, kesediaan untuk berkorban, dan meluaskan pengetahuan mereka tentang keadaan berbagai negeri serta masyarakatnya. Sebagian peziarah menjadikan haji sebagai momen awal untuk melakukan perjalanan dan upaya eksplorasi lebih jauh ke berbagai wilayah lainnya. Barangkali karena pengaruh haji yang penting inilah para akademisi, termasuk kaum orientalis Barat, menaruh perhatian cukup serius dan melakukan penelitian-penelitian terhadapnya.

Akhirnya, bagi pembaca Muslim yang banyak melakukan perjalanan ke berbagai tempat, sebaiknya jangan hanya melakukannya untuk hiburan dan pengisi waktu luang. Tapi mulailah menjadi pengamat yang baik dan kemudian tuangkanlah hal tersebut dalam sebuah tulisan. Tulisan itu boleh jadi terlihat biasa saja pada saat ia ditulis, tapi siapa tahu ia akan menjadi sesuatu yang sangat berarti di kemudian hari. Wallahu a’lam. [Kuala Lumpur, 24 Jumadil Akhir 1431/ 6 Juni 2010)

Penulis kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah  di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia


[1] Ian Richard Netton (ed.), Islamic and Middle Eastern Geographers and Travellers: Critical Concepts in Islamic Thought, vol. 1, London: Routledge, 2008, hlm. 2-3.
[2] S Maqbul Ahmad and Fr. Taeschner, ‘Djughrāfiyā,’ dalam Ian Richard Netton (ed.), Islamic and Middle Eastern Geographers and Travellers: Critical Concepts in Islamic Thought, vol. I: Medieval Geographers and Travellers, London: Routledge, 2008, hlm. 46.
[3] James E. Montgomery, ‘Ibn Fadlan and the Rusiyyah,’ dalam Ian Richard Netton (ed.), Islamic and Middle Eastern Geographers and Travellers: Critical Concepts in Islamic Thought, vol. I: Medieval Geographers and Travellers, London: Routledge, 2008, hlm. 165.
[4] Ibid., hlm. 167-168.
[5] Ibrahim Showket, Arab Geography Till the End of the Tenth Century, (disertasi), Michigan: University Microfilms International (UMI), 1987, hlm. 68-71.
[6] Basil Anthony Collins, Al-Muqaddasi: The Man and His Work with Selected Passages Translated from the Arabic, Michigan: The University of Michigan, Ph.D., 1973, hlm. 9-10.
[7] Ibid., hlm. 15-16.
[8] Ibid., 18.
[9] Naser-e Khosraw, Book of Travels (Safarnama) (translated from Persian by W.M. Thackston,Jr.), New York: The Persian Heritage Foundation, 1986, hlm. 19.
[10] Ian Richard Netton, ‘Ibn Jubayr: Penitent pilgrim and observant traveler,’ dalam Ian Richard Netton (ed.), Islamic and Middle Eastern Geographers and Travellers: Critical Concepts in Islamic Thought, vol. II: The Travels of Ibn Jubayr, London: Routledge, 2008, hlm. 83-84.
[11] Ian Richard Netton, ‘Rihla,’ dalam Ian Richard Netton (ed.), Islamic and Middle Eastern Geographers and Travellers: Critical Concepts in Islamic Thought, vol. II: The Travels of Ibn Jubayr, London: Routledge, 2008, hlm. 5.
[12] Netton, ‘Ibn Jubayr,’ hlm. 88.
[13] Ahmad and Taeschner, ‘Djughrāfiyā,’ hlm. 53.
[14] Nafis Ahmad, Muslim Contribution to Geography, New Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1982, hlm. 38.

MEMURNIKAN PENGERTIAN TENTANG INTELEJEN (01)



Dari segi bahasa, kata intelijen berasal dari bahasa Inggris yaitu intelligence yang artinya kecerdasan. Jadi intelijen sebenarnya lebih dekat dengan wilayah ecerdasan, pikiran atau otak, bukan hanya mengandalkan kekuatan otot semata. Jadi kalau kita mendengar kata-kata perang intelijen, berarti yang dimaksud tidak jauh dari sekitar perang urat syaraf, perang pikiran, perang psikologis dan perang secara tidak kelihatan atau perang yang tidak nampak (silent warfare).

Kesemua jenis perang tersebut, tidak mengandalkan pada perang fisik dengan melakukan penggelaran militer, namun kesemuanya menggandalkan taktik dan strategi pikiran yang membutuhkan kecerdasan (meski perang militer juga  menggunakan taktik dan strategi).

Jadi, intelijen bisa didefinisikan sebagai kegiatan mengumpulkan informasi, data, fakta, dan bahan keterangan baik secara terbuka maupun tertutup (namun kebanyakan dengan cara tertutup atau rahasia). Setelah informasi tersebut diperoleh, kemudian dianalisa, dievaluasi dan difafsirkan untuk disajikan kepada end user atau pengambil kebijakan sebagai pihak pengguna jasa intelijen.

Informasi yang sudah dianalisa disebut merupakan produk intelijen, yang berupa prediksi atau prakiraan terhadap situasi dan kondisi yang akan terjadi dimasa datang dalam jangka pendek dan menengah. Selain prediksi, produk intelijen juga berisi saran tentang problem solving atas suatu persoalan.

Dari sinilah analisa intelijen itu sangat penting sekali. Seorang analis intelijen harus benar-benar menguasai persoalan dan mempunyai kapasitas intelektual yang multidisplin agar menghasilkan produk intelijen yang baik. 

Penggunaan Jasa Intelejen Untuk Bisnis Peningkatan Kapasitas Bisnis

Produk intelijen yang dihasilkan pada dasarnya adalah peringatan dini terhadap ancaman (early warning system) sebagai langkah untuk menghindari apa yang disebut pendadakan strategis (strategic surprise). Muatan dari produk intelijen yang kedua adalah bagaimana memenangkan sebuah persaingan, hal ini banyak dipergunakan dalam intelijen bisnis atau competitive intelligence.